Awal April lalu, saya
Isolasi mandiri untuk pertama kalinya. Pekerjaan menuntut saya bertemu &
berkomunikasi langsung dengan orang asing. Bukan asing di telinga, tapi beneran
Asing beda warga negara. Turis, Bule bolang, WNA nyasar. Sehingga ketika saya
di rumahkan karena pandemi, saya harus ekstra waspada. Isolsi mandiri dilakukan
selama dua minggu Supaya saya yakin, keluarga aman dari virus Covid 19 yang
mulai merajalela. Saat isolasi pertama (april), saya santai
menjalaninya.
Juli ini, karena
syarat untuk bekerja sebagai PPDP, saya
harus menjalani Rapid test di puskesmas kecamatan. Malam sebelum tes, saya
begadang sampai pagi. Dapat dikatakan saya tidak tidur sampai pagi. Sejak
kuliah, begadang memang menjadi kebiasaan. Dan setiap kali begadang kemudian aktivitas
pagi, badan rasanya panas, tidak demam, hanya merasa hangat, dan itu sudah
biasa terjadi.
Rapid tes saya menunjukan hasil Reaktif &
saya dirujuk ke Rumah Sakit khusus Covid19 di kabupaten guna melakukan SWAB
tes.
Swab itu sakit, ada cutton butt (ini tulisannya salah, masa butt; bokong) yang dimasukan ke dalam dua lubang hidung, jaauuh, daleem sekali. Rasa² nya ampe mo tembus lubang kuping.
Eh, kuping ma idung nyambung ga sih.
Selanjutnya, cutton swab (ini yg bener) di masukan juga ke dalam mulut hingga tenggorokan. Mau muntah rasanya, andai ada foto pacar kamu, saya akan muntah di situ.
Tujuannya mengambil sample lendir yang ada di ronga hidung & tenggorokan. Kemudian dilakukan test PCR guna melihat ada atau tidaknya virus covid 19 di sample tsb.
Jika ada, fix, orang tsb terpapar virus Covid19.
Seminggu menunggu hasil SWAB, saya melakukan Isolasi mandiri di rumah. Protocol kesehatan sa lakukan, waktu dihabiskan di kamar dgn tidak berdekatan dengan anggota keluarga. Saya keluar kamar hanya untuk MCK & ambil Makanan. Makan pun saya lakukan di kamar dengan alat makan yang saya khususkan. Hal ini sa lakukan untuk menjaga jika hasil SWAB positif.
FYI: hasil Reaktif pada test Rapid belum bisa jadi patokan orang terpapar virus Covid19. Bisa jadi mereka pernah terpapar tp dah sembuh, atau karna hal lain.
Catatan kawalcovid19.id
1. Ketika kejadian ini berlangsung, hasil rapid tes yang reaktif masih menjadi prasyarat untuk bisa diswab. Prasyarat ini tidak tepat karena
(a) Rapid tes tidak bisa digunakan untuk mendiagnosa virus SARS-CoV2 dalam tubuh
(b) Hasil rapid tes reaktif tidak berarti orang tersebut positif COVID-19 sehingga memberikan rasa khawatir berlebihan
(c) Hasil rapid tes non reaktif tidak berarti orang tersebut tidak memiliki virus SARS-CoV2 sehingga memberikan rasa aman yang semu. Per 14 Juli 2020, protokol Kementerian Kesehatan menyebutkan agar rapid tes tidak lagi digunakan untuk mendiagnosa kasus COVID-19.
2. Testing yang tepat adalah ketika ada gejala konsisten dengan COVID-19 dan/atau memiliki riwayat kontak dengan orang positif COVID-19, langsung diisolasi dan dites PCR agar segera mendapat kepastian
*Saya kutip secara textual karena apa yang dialami survivor identik dengan pengalaman saya.
Jadi jika ada orang yang Hasil rapid reaktif atau positif, jangan dikucilkan, juga keluarganya.
beri semangat pada orangnya, karena mereka itu korban.
Lawan virusnya, bukan orangnya.
Seminggu lebih saya di isolasi, katanya angka kriminalitas meningkat, terutama yang menyasar pemudi ciwi-ciwi uwuwuuw.
Kemudian yang tak kalah menyedihkan, ini penting, statistik kebahagiaan pemudi menurun, mereka kurang tersenyum & tertawa. Statusnya banyak yang galau, aku jadi ikut sedih karnanya.
Hari ini saya sudah bebas dari jerat Isolasi mandiri yang menyiksa, artinya,
kehidupan akan normal sepeti sedia kala, Angka kriminalitas akan berangsur turun & tawa bahagia para pemudi akan kembali lagi.
Terimakasih dukungannya selama saya menjalani isolasi mandiri. Isolasi mandiri itu ga berat dek, yang berat itu menahan ga melihat senyum manis kamu itu.
Yuuk ah kapan, tapi jangan ngoyo ya...
Maksudnya klo sibuk gausah dipaksain, nunggu waktu luang aja.
Referensi Kutipan: https://kawalcovid19.id/content/1347/kisah-mila-perjuangan-di-ruang-isolasi-dengan-status-pdp
Tidak ada komentar: